Senin, 01 Maret 2010

Bahasa Indonesia 2 (Artikel 10)

Nama : Abhina Sakti Dangianjar

NPM : 10207007

Tugas : Bahasa Indonesia

Judul : Artikel






Politisi dan Parpol di Pansus Jangan Main-Main

Laporan wartawan KOMPAS Wisnu Dewabrata

Sabtu, 27 Februari 2010 | 19:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Para politisi dan partai politik, terutama mereka yang menjadi bagian dalam Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, diingatkan agar bersikap ekstra hati-hati dalam penyampaian pandangan akhir di sidang paripurna mendatang terkait kasus itu sehingga tidak mengkhianati harapan dan kepercayaan masyarakat.

Masyarakat selama ini secara intens dan kritis telah mengikuti, mengamati, dan mencatat perilaku para parpol dan politisi melalui berbagai media massa. Pilihan yang ada sekarang hanya dua, mendukung (pro) atau menolak (kontra) praktik korupsi dalam kasus Bank Century. Pernyataan itu disampaikan aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Fadjroel Rachman, saat dihubungi per telepon, Sabtu (27/2/2010).

Dengan kondisi macam itu, dia mengaku yakin DPR tidak akan berani bermain-main dengan kesimpulan akhirnya apalagi jika prosesnya dengan voting langsung. "Saya sih sangat optimistis, apalagi publik selama ini bisa melihat prosesnya langsung lewat media massa. Memang sih, ada yang namanya penyakit 'oportunistis' di setiap parpol. Namun kondisi sekarang itu ibaratnya sudah jadi titik tanpa jalan kembali (point of no return)," tegas Fadjroel.

Jika berani nekat, tambah Fadjroel, para politisi dan parpol tadi akan dicatat lekat-lekat dalam ingatan kolektif masyarakat, terutama terkait ketidakkonsistenan mereka dalam menangani persoalan terkait korupsi. Kondisi sekarang menurutnya adalah momen paling krusial di mana semua pihak ditempatkan dalam posisi untuk mengembalikan kesetimbangan moral dalam perpolitikan di Indonesia di mana seharusnya politik mengenal yang namanya benar dan salah.

Fadjroel juga mengingatkan, fungsi dan peran pansus hak angket sebatas membuktikan ada tidaknya kebijakan pemerintah yang melanggar Undang-Undang. Mereka tidak dibebani keharusan menyelidiki ada tidaknya pelanggaran hukum, terutama soal korupsi, di mana hal itu menjadi kewenangan kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Saya menilai, sebenarnya pemeriksaan oleh pansus sudah lengkap 90 persen membuktikan ada pelanggaran. Tinggal yang 10 persen itu pernyataan-pernyataan dari sejumlah pihak seperti dari Sri Mulyani dan Jusuf Kalla, misalnya terkait pernyataan kalau Sri Mulyani merasa ditipu. Jadi tinggal semua itu dikonfirmasi, sampai terakhir ke Presiden Yudhoyono," ujar Fadjroel.

Lebih lanjut Fadjroel mengaku menyesalkan kalau Presiden Yudhoyono seolah mengumpulkan massa untuk balik melawan serangan terhadapnya selama ini, terutama ketika dia dan Wakil Presiden Boediono menghadiri acara zikir bersama di Taman Silang Monumen Nasional, Jakarta. Cara-cara pengumpulan massa seperti itu, terutama yang diembel-embeli kelompok agama tertentu, menurut Fadjroel bukan hanya dilakukan Presiden Yudhoyono melainkan juga oleh para pemimpin sebelumnya, terutama saat mereka terdesak secara politik.

Bahkan di masa Soeharto, kelompok agama seolah diadu dengan gerakan mahasiswa. "Padahal dari pengalaman saya, setiap rezim yang akan runtuh melakukan langkah seperti itu. Mulai dari para mantan presiden sebelumnya seperti Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan bahkan Megawati Soekarnoputri pun pernah melakukan hal sama," tukas Fadjroel.

Ket :

Orange = Argumentasi

Coklat = Penalaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar